Kamis, 03 Maret 2011

Dua Mata Rencong


(Catatan Untuk Ramli MS)


HARIAN Serambi Indonesia, 19 Mei 2010 memuat berita dengan judul “Tiga Dokter Spesialis Dicopot, layanan RSU Meulaboh Lumpuh” dan “Petugas Pendapa Aceh Barat Lucuti Pakaian KetatTamu”. Berita yang berdasarkan kemauan Bupati Aceh Barat Ramli MS dan di tuangkan dalam surat keputusan tersebut, seperti dua mata rencong, yang bila tak hati-hati akan menikam pemiliknya.

Sebagai perempuan ibu, yang pernah sangat menggantungkan harapan kepada dokter spesialis kandungan, saat akan melahirkan anak dengan kondisi kandungan bermasalah, saya dapat merasakan bagaimana kalutnya para perempuan ibu yang akan melahirkan, sementara dokter  spesialis yang diharapkan akan membantu persalinan tak normalnya sudah tak diperkenankan bertugas di rumah sakit umum tempat di mana putra pertama saya lahir dengan operasi caesar. Kekalutan itu akan dirasakan para ibu yang anaknya sakit parah, perlu penanganan dokter spesialis anak, sedang dokter yang ditunggu akan memeriksa anaknya telah dilarang menjejakkan kaki di poli anak. Kemana lagi akan menggantungkan harapan bagi penderita penyakit dalam kronis, apabila dokter spesialis penyakit dalam yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya, sekedar memberi sapaan pagi penyemangat hidupnya, dikarenakan surat keputusan yang ditandatangani seorang bupati yang notabene dipilih masyarakat Aceh Barat. Konon lagi ada anggota masyarakat miskin papa yang perlu pembedahan, harus menempuh perjalanan darat ke Banda Aceh dengan kondisi jalan putus sambung tak jelas kapan mulusnya.   

Keputusan Ramli membebastugaskan tiga dokter spesialis dari Rumah Sakit Cut Nyak Dien, dengan menempatkan kembali di Puskesmas Peuremeu sungguh merupakan keputusan yang tak bisa ditolerir. Tak ada penjelasan sebagai jawaban atas keputusan yang mencengangkan di berita tersebut. Ramli bertindak sebagai “raja besar” dalam kekerdilan diri dengan mencengkramkan kuku tajamnya yang sebenarnya sangat rapuh, justru pada masyarakat yang memilihnya tanpa pernah tahu siapa dan bagaimana kiprahnya sebelum menjadi calon seorang pemimpin. 
Sebagai seorang perempuan guru, keputusan Ramli melarang memakai celana ketat masih bisa ditolerir. Tapi yang membuat saya bertanya-tanya apa urgennya mengurus celana ketat perempuan, sementara di dalam benak sebagian para lelaki berselemak maksiat sejak mata mulai nanar menatap layar kaca di setiap ruang keluarga atau di layar HP, laptop, komputer dengan fasilitas internet yang bahkan bisa menikmati dengan bebas buah dada bintang iklan, tanpa terhalang kain serupa bahan celana jean yang menutup ketat paha si belia. Apakah dengan memakai rok dapat menjamin berkurangnya maksiat di Meulaboh. Apakah yang harus menjaga aurat itu hanya perempuan, sedangkan lelaki tidak.                

Sebagai ilustrasi, suatu hari di ruang tunggu bandara Penang, di hadapan saya duduk beberapa perempuan menggunakan jubah hitam tebal lengkap dengan cadarnya. Teman seperjalanan saya seorang lelaki muda berguman, “seksi sekali perempuan itu.” Saya melihat ke arah pandangan lelaki muda. Heran. Tak ada perempuan dengan body aduhai memakai celana jean ketat. “Mata diantara kerudung dan cadar itu sungguh seksi.” Gumamnya kemudian. Ah, siapa yang menghalangi zina meski hanya sepasang mata. Seberapa besar pengaruh adab berpakaian perempuan tamu setelah dilucuti pakaian ketat oleh petugas pendapa Aceh Barat dan penerima  rok gratis lainnya yang terjaring razia WH dibanding pengaruh kecerdasan bermoral diperoleh generasi penerus dengan membenahi pendidikan mereka melalui pemberian buku pelajaran gratis yang Islami bukan sekedar pinjaman perpustakaan.  Sudah banyak polemik yang berkembang dalam masyarakat tentang bagaimana selayaknya berpakaian bagi perempuan dalam ajaran agama Islam. Bahkan kalau kita simak opini di harian ini, beberapa kali terjadi saling debat yang hangat antara cendekia muslim Aceh. Saya tak akanmemperpanjang debat opini, karena selaku perempuan, lebih dari separuh usia hidup saya telah menggunakan pakaian yang saya rasa sudah menunjukkan identitas saya sebagai seorang muslim. Juga bukan berarti ketika menanyakan seberapa urgennya mengurus celana ketat, saya termasuk orang yang mendukung pemakai celana ketat dan  alergi dengan penegakan syariat Islam. Tidak, tidak demikian adanya.Sebagai seorang pemimpin, Ramli tentu bisa melakukan apa saja yang dianggap benar. Seperti membuat peraturan melarang perempuan memakai celana ketat dan mencopot dokter spesialis. Tetapi dengan lumpuhnya layanan rumah sakit apakah tindakannya itu benar dan memihak rakyat. Menghambur-hamburkan uang dengan membeli rok lalu membagi gratis kepada perempuan yang terkena razia apakah hal itu suatu tindakan yang lebih penting dari membenahi moral diri sendiri, keluarga dan masyarakat.            

Turun dan lihatlah bagaimana keadaan rakyat kecil yang engkau pimpin, hidup penuh dengan kemelaratan. Mereka berduyun-duyun antri menuju rumah sakit pemerintah dengan mengandalkan surat miskin untuk dapat dilayani. Kadang penyakit yang diderita sudah sangat kronis. Dengan tak cukupnya dokter ahli maka rakyatmu akan terus meminum obat yang salah sehingga jangankan berharap panjang umur malah kuburan bertambah dekat. Sedangkan dirimu yang seorang bupati, atau para pejabat yang engkau angkat sesuai seleramu, setiap saat bisa ke luar negeri untuk check up sambil liburan bersama keluarga.

Coba sering-sering bertandang ke rumah sakit. Tanyakan apa persoalan bila ada dokter yang tak betah dan sering meninggalkan tugasnya tanpa pengganti yang sama ahlinya. Apakah benar memperbantukan dokter ahli ke puskesmas sedang di rumah sakit pasien rujukan puskesmas ditangani dokter umum. Apa untungnya mencopot dokter spesialis hingga layanan rumah sakit menjadi lumpuh. Jika rumah sakit lumpuh, orang sakit akan bertambah sakit. Kalau semakin hari makin banyak tubuh yang sakit, jiwa akan menjadi beberapa kali lebih sakit maka wajarlahlah negeri ini tak pulih- pulih. Sudah banyak persoalan yang tak pernah selesai ditangani.  Bertanyalah kita apa tugas pemimpin negeri. Menambah orang sakitkah? Tidakkah kita membutuhkan tubuh yang sehat, karena disanalah terdapat jiwa yang sehat.

Coba suatu waktu datang ke sekolah-sekolah. Periksa buku catatan siswa, apakah lengkap. Punyakah mereka buku sumber belajar. Adakah buku-buku paket di perpustakaan sekolah mereka. Apakah dipinjam pakaikah atau berdebu di lemari buku. Seandainya dalam kunjungan ditemukan banyak siswa yang tak memiliki fasilitas yang cukup untuk belajar apakah sebagai bupati, engkau mau melengkapi semuanya dan memberikan ‘percuma’. Lalu tinjau lagi kecukupan tenaga guru di semua sekolah. Apakah sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.  Bagaimana kualitas gurunya. Pernahkah para guru mengikuti pencerahan berupa penataran dan kesempatan liburan untuk menambah wawasan. Kalau tidak cukup guru maukah mencarikan guru honor dan membayar gajinya sesuai UMR dan dibayar setiap awal bulan. Selanjutnya coba tes kemampuan salah satu siswa yang memiliki nilai tertinggi di SKHU nya apakah sesuai dengan kemampuannya aslinya. Jujurkah kita dalam mendidik anak-anak dengan memaksakan nilai kelulusan demi menjaga martabat daerah.

Ah, terlalu banyak yang mestinya harus lebih diurus oleh seorang Ramli sebagai seorang kepala pemerintahan agar anak bangsa tidak berpikiran kotor hanya melihat para perempuan mengenakan celana ketat di Meulaboh. Saya hanya bermimpi suatu saat bupati Ramli akan membuat SK supaya semua dokter ahli harus ada dan menetap di Meulaboh dengan fasilitas yang memadai sesuai dengan kemampuan daerah. Dan berhentilah merasa lebih ahli dari orang yang ahli dalam mengambil keputusan.                                             
 
 * D Kemalawati    adalah Guru dan Penyair, lahir di Meulaboh.
     Opini dimuat di Harian Serambi Indonesia

JUJURKAH DUNIA PENDIDIKAN KITA ?


Oleh :  D  Kemalawati

Seorang peserta ujian nasional terkulai lemas, saat di papan pengumuman nomor ujiannya benar-benar tidak kelihatan. Ia baru saja mendapatkan penghargaan sekaligus telah mengharumkan nama daerah karena telah berhasil menjadi juara pertama salah satu bidang keahlian dalam Lomba Ketrampilan Siswa SMK Tingkat Nasional. Siapa yang membayangkan ia akan gagal di tingkat UN sedangkan di tingkat nasional ia telah menunjukkan kemampuannya.

Di lain tempat, seorang siswa yang selalu membuat onar di sekolah, memprovokasi temannya untuk tak mengikuti pelajaran tertentu, dan hampir tak pernah sama sekali mengikuti pelajaran tambahan di sore hari, terlihat meloncat-loncat gembira karena nomor ujiannya tertera dengan sangat terang di papan pengumuman. Boleh jadi dalam hatinya ia mulai tak percaya tentang semua nasehat guru-gurunya agar rajin belajar dan mengikuti seluruh aturan sekolah. Selama mengikuti ujian nasional tak ada usaha yang dilakukan.

Tentang pelajaran Bahasa Indonesia ia merasa sudah cukup dapat membaca dan menulis dengan baik. Bahasa Inggris hanya dianggap angin lalu. Matematika apalagi. Setiap bertemu dengan operasi bilangan, baik itu perkalian apalagi pembagian dengan desimal ia langsung menutup buku. Konon lagi harus menghafal sudut-sudut istimewa serta rumus jumlah dan selisih kosinus, sinus dan tangen. Maka beralihlah ruangan kelasnya ke kantin sekolah dengan alasan ke toilet, atau sangat haus.

Hasil UN tahun ini walau telah menunjukkan peningkatan dalam hal bertambahnya prosentase kelulusan, namun masih tetap menimbulkan berbagai reaksi. Hal mana dipicu oleh tak adanya kesempatan mengulang bagi siswa yang belum berhasil. Demonstrasi yang dimotori artis Sophia Latjuba yang akhirnya berujung dialog dengan para legislatif memperlihatkan bahwa praktik UN semakin dipermasalahkan.
Pada kesempatan itu, ketua komisi X DPR RI, Zuber Safawi menyatakan tidak sependapat dengan komentar Wapres Jusuf Kalla yang menyebutkan siswa tidak lulus UN karena malas. Zuber juga menjelaskan, sebelum UN digelar sikap komisi X sudah tegas dengan adanya tujuh fraksi yang menolak UN. Ini merupakan jawaban bagi pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat. Ada dua fraksi setuju UN, itupun dengan syarat ada ujian ulang, sedangkan satu fraksi setuju UN dan ujian ulang ditiadakan.

Kasus percobaan bunuh diri juga dapat kita temukan pemberitaannya sebagai reaksi atas kegagalan menembus ujian nasional. Kemudian kita disuguhi alternatif paket C yang juga ditanggapi beragam. Tuntutan untuk tidak diadakan lagi ujian nasional terus bergulir, sementara standar nasional hampir semua kita mengakui sangat diperlukan.
Kita tinggalkan dua kasus keberhasilan dan kegagalan di atas. Karena dalam suatu penilaian yang sesaat semua kemungkinan bisa terjadi. Keberhasilan dan kegagalan hanyalah sekeping mata uang yang berlainan sisi. Kita beralih pada perolehan hasil beberapa hari kemudian. Sebut saja Yanti, salah seorang lulusan sekolah menengah atas yang terbelalak matanya menyaksikan nilai 9,67 tertera pada mata pelajaran Matematika. Nilai Bahasa Inggris 10, sedangkan Bahasa Indonesia diperoleh nilai 7 dalam Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHU). Selama tiga tahun belajar di SMA tersebut, Yanti belum pernah memperoleh nilai matematika setinggi itu.
Gurunya selalu mengatakan bahwa ia takkan mampu mempertanggungjawabkan nilai tersebut dengan kemampuan yang dimilikinya tentang Bahasa Inggris, walaupun ia sangat rajin mengikuti les baik di sekolah maupun di lembaga pendidikan lain di luar sekolah, ia masih tak merasa mampu. Listening-nya masih sangat jelek. Sedangkan saat ujian, dengan kapasitas tape recorder yang jelek ia merasa sedikit kewalahan menyimak apa yang disampaikan narator. Kalau Bahasa Indonesia, ia sangat yakin itu memang kemampuannya, walau sebenarnya ia mengharap lebih pada pelajaran yang satu ini.

Yanti bisa saja bernafas lega telah memiliki SKHU yang lumayan bagus. Orang tua Yanti dan keluarganya boleh merayakan keberhasilan anaknya dengan pesta atau mungkin ia akan mentraktir temannya makan di Pizza House itu. Sekolah boleh merasa puas telah mengantarkan siswanya ke gerbang yang lapang dan akan menuju jalan yang lurus. Tapi, apa yang terjadi saat Yanti mendaftar di salah satu perguruan tinggi, ia mulai merasa gerah dengan nilai bagusnya. Seorang petugas penerima pendaftaran meledek dirinya. Ada juga yang terang-terangan menyatakan ketakyakinan mereka tentang nilai yang luar biasa itu. Yanti mulai was-was. Apakah artinya nilai yang bagus itu kalau ternyata ia gagal sebagai mahasiswi?

Lain halnya Rifki, lulusan salah satu sekolah menengah pertama yang datang melamar di sekolah SMK yang agak favorit di kota ini. Ia sudah mendengar tentang ada sekolah menengah atas yang hanya menerima calon siswanya dengan SKHU bernilai 27, berarti calon siswa yang akan masuk kesana harus memiliki nilai rata-rata 9 pada setiap mata ujinya. Rifki yang nilai matematikanya 10 dengan membusung dada lebih memilih mendaftar ke SMK bidang teknologi walau sebenarnya ia bisa saja mendaftar di SMA favorit itu. Ia mengambil jurusan mesin otomotif yang kabarnya lebih bergengsi. Ketua jurusan mesin otomotif yang turut menjadi panitia terlihat bergairah menerima calon siswanya yang menurut anggapannya pintar karena nilai matematikanya itu.

Tapi apa lacur, siswa tersebut sama sekali tak mampu menghafal kali-kali 4 dengan baik. Tahukah siswa tersebut bagaimana penarikan akar dalam operasi bilangan real, apakah ia tahu bagaimana mengerjakan persamaan kuadrat dengan melengkapkan kuadrat sempurna, atau berapa jumlah sudut suatu segitiga yang pernah ia pelajari di sekolah lanjutan pertama yang merupakan dasar untuk melanjutkan ke lanjutan atas.
Melonjaknya perolehan nilai lulusan hampir di semua sekolah tidak mungkin terjadi begitu saja. 

Dua kasus diatas merupakan pelajaran berharga yang merupakan buah dari kekalutan yang disebabkan tekanan-tekanan dari berbagai pihak. Berkali-kali mutu pendidikan kita terpuruk dan hampir menduduki angka kunci dari seluruh provinsi di negeri ini, menjadi salah satu penyebab terjadinya upaya penghapusan imej tak baik dengan berbagai cara. Kambing hitam-kambing hitam yang pernah dikorbankan sekarang tak mudah ditemukan lagi. Komflik telah berakhir. Bencana, sebagian besar sudah tertangani. Bangunan sekolah telah banyak terganti. Guru-guru baru sudah juga diangkat. 

Turun tangan BRR dalam mempersiapkan para siswa juga tak bisa dianggap kecil. Ini terlihat dari anggaran yang disediakan untuk menambah jam belajar bagi mereka yang akan mengikuti UN. Maka selama satu semester penuh para siswa dan guru yang terkait dengan mata uji UN tersebut hampir tak pernah menikmati istirahat siang karena harus kembali ke sekolah untuk membahas materi UN yang setiap tahun tak pernah bergeser jauh itu.

Sudah jujurkah dunia pendidikan kita? Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI (28/6-2006) Mendiknas Bambang Sudidyo menyatakan rasa malunya karena dari penyelidikan yang dilakukan oleh tim investigasi, telah terbukti adanya kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN. Dugaan kecurangan dalam UN merebak karena ada sekolah yang tingkat kelulusannya mencapai 100 persen. Sebaliknya ada sekolah yang angka kelulusannya nol persen.

Diakui, beberapa siswa berprestasi seperti dua siswa SMK yang disebutkan diatas telah dinyatakan gagal dalam menempuh UN. Kepada kepala sekolah yang siswa berprestasinya tidak lulus sempat saya pertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi. “Siswa saya memang memiliki ketrampilan tapi mungkin dalam hal teori ia masih ketinggalan,” demikian pengakuan kepala sekolah tersebut. Ketika kepadanya ditanyakan konsekuensinya sebagai kepala sekolah yang gagal mendongkrak prosentase kelulusan, ia hanya menjawab “saya bekerja Lillahi Ta‘ala.”

Bagi sebagian orang kecurangan dalam pendidikan bukan jadi soal. Toh, banyak sekali sarjana-sarjana palsu yang telah membeli selembar ijazah. Tapi bagi daerah yang sedang giat-giatnya mengklaim berbudaya islami hal ini sungguh pekerjaan yang memalukan. Generasi kita seakan tak diberi kesempatan untuk mengetahui kemampuan yang ada pada dirinya. Tanpa disadari, kita telah membelokkan arah pendidikan yang seharusnya menciptakan masyarakat berbudaya luhur ke arah yang hina.

Ada beberapa penyebab terjadinya kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN, walau tak semua layak diungkapkan di sini. Hasil try out yang dilakukan baik oleh sekolah maupun oleh pihak lain yang terkait telah membuktikan bahwa kesiapan siswa kita dalam menghadapi UN sangat mengkhawatirkan. Ada daerah kabupaten kota yang terang-terangan mengumumkan hasil try out siswanya yang nol persen lulus dan diekpos media massa. Tapi banyak sekolah yang telah melakukan try out ketika memperoleh hasil yang tidak memuaskan, mereka bungkam. Di kelas-kelas unggul memang didapati hasil try out diatas 80 persen keberhasilannya. Akan tetapi berapa kelaskah di negeri ini yang merupakan kelas unggulan?

Kontrak kelulusan juga mempengaruhi psykologis para kepala sekolah. Kita mendengar bahwa sebelum UN berlangsung, antara kepala sekolah dan pihak dinas pendidikan telah terjadi deal yaitu meneken kontrak kelulusan. Segi positifnya, setiap kepala sekolah akan terus memacu guru dalam mempersiapkan siswanya mengikuti UN agar mencapai target kelulusan. Namun disisi lain, tanpa disadari telah terjadi penekanan-penekanan yang berujung hilangnya kepercayaan pada peserta didik yang nyata-nyata dari hasil try out memperlihatkan ketakmampuannya.

Persoalan menjadi komplek ketika ada anggapan bahwa jika kontrak kelulusan tidak terpenuhi maka akan terjadilah perpindahan kekuasaan, kompentensi guru diragukan, sekolah menjadi cemoohan. Maka dalam kekalapan terjadilah kesalahan dalam melakukan penyelesaian. Sepucuk surat jawaban menggelinding mulus dari alat komunikasi canggih. Apakah artinya kejujuran, harga diri dan entah apa namanya lagi sebab yang penting menemukan cara mudah agar segelintir orang senang.

Adalah yang terpenting memperoleh surat keterangan dengan nilai yang sangat memuaskan sedangkan kemampuan tak mereka hiraukan. Apakah sekolah lanjutan hanya membutuhkan selembar SKHU yang diperoleh hanya karena mampu mengerjakan tiga mata uji pokok saja, sementara bertahun-tahun ke depan ia akan menjadi orang yang kalah terus dalam mengikuti tanjakan pada setiap mata pelajaran. Sedangkan orang-orang yang kreatif yang mampu memberdayakan dirinya dan kalah teliti dalam membaca soal sesaat dianggap gagal melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Padahal ialah orang yang mestinya akan menggantikan generasi yang sedang menjadi pelaku hari ini.

Dalam konteks keimanan ternyata kita sudah terlalu jauh dalam retorika. Memperlihatkan pada khalayak, telah berjalannya syariat dengan mempertontonkan hanya sekadar penyabung ayam menjadi kesombongan akan masyarakat yang sempurna. Bahwasanya terjadi pembohongan publik dan ketakpercayaan orang tentang nilai-nilai yang kita tawarkan telah menjadi bagian gaya hidup yang tak dirisaukan lagi. Kalau saja dunia pendidikan kita demikian putih bersih, pasti mata kita tak sakit melihatnya.

*) Penulis adalah Guru SMKN2 Banda Aceh

100 Persen Tak Lulus UN 100 Persen Jujur


Oleh D Kemalawati


Judul itu saya pilih bukan untuk membela SMPN1 Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, sebagaimana diberitakan harian ini (Sabtu, 27/06/ 2009) lalu, bahwa dari 30 siswa SMP tersebut yang ikut UN tak ada satu peserta pun yang lulus alias 100 persen tak lulus. Sungguh saya tak berhak mengklaim bahwa pelaksanaan UN di Sekolah itu sudah benar dengan tingkat kejujurannya 100 persen. Karena secara langsung saya tak terlibat di sana.

Sebagai seorang guru yang mengajar mata pelajaran yang di UN-kan , secara tidak langsung saya mengakui kejujuran itu. Dan bila diinversikan berarti jika 100 persen lulus UN maka 100 persen tak jujur. Hal ini tentu akan mengundang polemik baru. Itu seperti iklan jeruk kok makan jeruk. Bicara kejujuran saat ini, kita memang harus hati-hati. Bisa saja kejujuran kita mengungkapkan sesuatu akan berakibat fatal seperti yang dialami seorang ibu rumah tangga, Prita Mulya Sari yang harus mendekam di penjara wanita Tangerang karena menulis surat elektronik yang isinya dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit. Tetapi, apakah kehati-hatian yang menjurus apatis itu akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, saya tidak yakin. Tapi setidaknya di negeri yang sedang melaksanakan syariat Islam ini kejujuran masih dijunjung tinggi oleh sebagian masyarakat dan masih ada yang berpihak pada orang-orang yang berusaha jujur.

Beberapa praktik kecurangan berskala besar terus-menerus dilakoni. Pelaksanaan pemilu bulan April lalu yang melibatkan hampir sebagian besar komponen masyarakat, praktik kecurangan seperti air bah tak terbendung. Intimidasi, jual beli suara yang biasa dipraktikkan oleh mereka yang tak beriman terjadi di negeri syariat Islam. Demikian juga di dunia pendidikan yang mestinya steril dari kemunafikan justru menjadi tempat generasi muda belajar kecurangan. Ya, meski kedengarannya sangat pahit, kenyataannya dunia pendidikan telah ternoda karena UN.

Mengharap standar mutu pendidikan dapat terjamin dari adanya ujian nasional hanya untuk beberapa mata pelajaran justru telah membuat kita terjerumus dalam eforia kemunafikan. Persentase-persentase kelulusan yang dibanggakan sebagai suatu keberhasilan tak ubahnya seperti permen karet. Permukaannya manis tetapi isinya tak bisa ditelan menjadi makanan. Ya, hanya setipis manisan di permen karet itulah persentase lulusan kita yang bisa diandalkan. Nilai- nilai terpampang di SKHU sangat luar biasa. Sangat memalukan bagi guru-guru yang mengajar bidang studi yang di UN-kan. Ada siswa yang sehari-hari sulit memperoleh nilai 5, di SKHU bahkan mampu memperoleh nilai di atas sembilan. Apakah soal yang diberikan guru sehari-hari lebih sukar dari soal-soal UN.

Beberapa teman guru matematika dilain kesempatan mencoba menyelesaikan soal UN tahun ini dengan waktu yang sama dengan siswa. Setelah dicek ulang mereka menemukan beberapa kesilapan dalam cara menyelesaikan soal dan walhasil beberapa jawabannya salah. Dengan demikian meski setiap tahun berkutat menyelesaikan soal-soal UN nilai guru itu tak juga sampai 10. Tetapi nilai matematika siswanya yang hanya berlatih sesaat ketika les bisa mendekati limit sempurna. luar biasa.

Dalam waktu dua jam, menjawab puluhan soal kalau tidak terlatih pasti hasilnya tidak akan memuaskan. Soal-soal formatif saja yang hanya satu pokok bahasan dan baru saja dipelajari belum tentu semua siswa mampu menjawab dengan tepat dan memperoleh hasil 10. Apalagi soal UN yang mencakup semua pokok bahasan dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Hal ini bisa dibuktikan dengan hasil try out. Soal-soal ketika try out biasanya tak jauh beda dari soal UN . Tapi hampir sebagian besar siswa calon peserta UN tak dapat menyelesaikan soal-soal try out itu dengan baik. Hingga tingkat kelulusan try out hanya berkisar 0 sampai 30 persen. Sesuatu yang luar biasa terjadi setiap Juni adalah eforia kelulusan mencapai 100 persen, eforia keberhasilan dengan nilai rata-rata 9. Jujurkah itu.

Mestinya kita sadar kenapa pihak pemerintah memutuskan nilai kelulusan misalnya 3,5 bukan langsung 6 untuk matematika pada awal pelaksanaan UN beberapa tahun lalu, mereka tentu sudah melakukan penelitian tentang rata-rata kemampuan siswa menjawab benar adalah 10 soal. Lalu dengan adanya pengalaman dan perbaikan-perbaikan di sana-sini, nilai kelulusan dinaikkan lagi. Semua dilakukan bertahap bukan untuk mengkatrol kelulusan apalagi memperoleh nilai mendekati 10 seperti yang kita temui di SKHU siswa hari ini.

Seperti pernyataan Dr. Sofyan A. Gani dalam opininya (Gembira dalam Duka Menyambut Hasil UN, Serambi Indonesia, 27 Juni 2009), saya juga tak alergi dengan UN. Apalagi tujuan UN itu jelas untuk mengukur standar pendidikan secara nasional. Karena yang kita ketahui hingga hari ini apa yang dipelajari oleh siswa di tingkat pusat sama dengan apa yang dipelajari oleh siswa yang ada ditingkat daerah bahkan jauh di pelosok di daerah terpencil. Apa yang harus diajarkan oleh guru yang ada di pusat sama juga dengan apa yang harus diajarkan oleh guru di daerah terpencil, tanpa kecuali. Semua tertuang dalam kurikulum nasional yang berlaku di seluruh negeri ini.

Yang sering kita lupa adalah kenyataan bahwa sekolah di daerah, apalagi daerah terpencil dengan sekolah di perkotaan sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi. Simak saja, kasus SMPN1 Sungai Mas yang letaknya di pedalaman, jauh dari pusat kota meulaboh. 100 persen peserta UN yang tidak lulus memang dapat disebabkan oleh banyak factor. Setidaknya, menurut kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat, Drs Adami Umar ada tiga cara yang akan ditempuhnya agar kegagalan tahun ini tidak terulang ditahun berikutnya, yaitu : dengan penempatan guru secara penuh, melakukan pengawasan yang kontinyu oleh pengawas sekolah serta penambahan sarana dan prasarana penunjang pendidikan.

Jelas, faktor kegagalan UN di SMPN1 Sungai Mas menurut kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat adalah masalah kurangnya guru ( tidak dijelaskan apakah guru yang mengajar mata pelajaran UN juga tak ada), kurangnya pengawasan oleh pengawas sekolah, dan kurangnya sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Kurangnya guru sangat mempengaruhi aktifitas belajar mengajar. Sedangkan setiap kali terjadinya aktifitas belajar mengajar juga belum tentu satu pokok bahasan yang ditargetkan di kurikulum akan tercapai.

Apakah tanpa bimbingan guru, meskipun kurang kompeten, para siswa siap untuk menjawab soal-soal UN yang dari tahun ke tahun tetap mengacu pada pokok bahasan yang telah diajarkan selama 6 semester atau materi dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Bayangkan saja, untuk pelajaran yang berjenjang seperti Matematika, bila siswa belum paham operasi bilangan riil apapun pokok bahasan yang akan dilanjutkan pasti akan mengalami kendala. Mau mencari peluang suatu kejadian pasti tidak akan berhasil bila siswa tidak bisa mengalikan bilangan pecahan dan sebagainya. Lain lagi dengan bahasa inggris, selain ujian tiori juga ada listeningnya. Bisakah para siswa kita mendengar dengan baik tanpa latihan mendengar dialek yang membaca narasi maupun percakapan dalam bahasa inggris tanpa bimbingan guru bahasa Inggris yang kompeten. Demikian juga pelajaran bahasa Indonesia. Di daerah pedalaman tertentu bahkan berbicara bahasa Indonesia saja mereka tak pasif bagaimana lagi menjawab soal-soal UN dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Menyamaratakan soal UN antara sekolah yang ada di perkotaan yang punya fasilitas lengkap, semua kebutuhan bahan ajar terpenuhi dan yang lebih utama adalah kesadaran masyarakatnya atas kebutuhan pendidikan sudah sangat baik dengan sekolah di pedalaman tanpa guru yang selalu mendampingi siswa, tanpa bahan ajar yang memadai, kemampuan ekonomi masyarakat yang sangat memprihatinkan, sungguh suatu hal yang miris. Bagi saya, bila di sekolah itu tak ada guru yang mengajarkan mata pelajaran yang di UN-kan, tidak pernah dilatih siswanya untuk menyelesaikan soal-soal bahkan tidak pernah di try out, maka 100 persen tidak lulus adalah sebuah kejujuran yang perlu dihargai sebagai sebuah pelajaran berharga. Yang kita pertanyakan dengan kondisi yang sama, dan mungkin jauh terpencil dari Sungai Mas, apakah bisa kita percaya bila ada sekolah yang mampu meluluskan siswanya 100 persen. Demikian juga hal nya sekolah-sekolah di perkotaan yang sekarang bisa meluluskan siswanya hingga 100 persen bahkan dengan nilai-nilai yang fantastis, jujurkah mereka?

* Penulis adalah Guru Bidang Studi Matematika SMKN2, Banda Aceh.

Benarkah Guru Membodohi Anak Bangsa?


[ penulis: D Kemalawati | topik: Pendidikan ]

        Suatu pagi seorang anak berlari-lari kecil di pematang sawah. Di ketiaknya terkepit dua buah buku. Di saku bajunya yang kusam sepucuk pinsil yang ujungnya tak runcing menyembul keluar. Dengan terengah-engah sampailah anak itu ke sebuah tempat, di mana telah berkumpul puluhan anak sebaya dengannya dan beberapa orang dewasa.
 
      Tanpa upacara bendera atau senam pagi, anak-anak itu mulai belajar. Suasana pedesaan yang hening pecah oleh bacaan: “ini ibu Budi, ini ayah Budi” dan seperti embun membasahi kakinya saat berlarian di pematang, bacaan itu melekat di kepala anak-anak kecil yang ceria itu. 

      Dua puluh tahun kemudian, anak kecil tersebut telah menggunakan sepatu mengkilat dan mengendarai mobil mewah melaju kencang ke gedung megah di kota ini. Hari ini, dia bukan lagi anak kecil yang dulu dibimbing tangannya untuk menulis huruf ’a‘, bukan lagi anak kecil yang mati-matian membenarkan perkatan gurunya. Karena semua perkataan guru baginya adalah kepintaran. Hari ini dia mungkin meyakini keberhasilannya adalah karena kepintaran gurunya dan usahanya sendiri. 

      Tidak seorangpun bisa membantah bahwa kita semua pernah berguru. Karena dalam hidup ini ilmu itu tak datang dengan sendirinya. Allah menurunkan wahyunya kepada Rasul-rasulnya melalui Malaikat. Rasul-rasul yang berkapasitas sebagai teladan telah menjadi guru bagi umatnya. Dan guru, layak tidak layak memang harus dihargai. Tentu penghargaan itu bukan hanya dengan kata-kata, atau sebuah cendera mata, ataupun lencana. Guru harus dihargai dengan memberikan fasilitas yang sesuai dengan pekerjaannya yaitu mencerdaskan anak-anak bangsa. Tapi guru bukan malaikat yang tak pernah salah menyampaikan wahyu. Guru adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

      Suatu hasil kajian tentang guru telah membuat seorang Wakil Kepala Dinas Pendidikan NAD Drs Anas M Adam MPd berani menyimpulkan bahwa: seorang guru yang tak berkualitas, kalau diangkat pada usia 25 tahun dan pensiun pada usia 65 tahun, maka yang bersangkutan terus membodohi siswanya selama 40 tahun. “Kalau tiap tahun dia mengajar dua kelas (60 orang), maka selama hayatnya dia akan membodohkan 2.400 siswa dan Negara juga mengalami kerugian karena gaji yang dikeluarkan bukan untuk mencerdaskan anak bangsa, tetapi justru membodohkan anak bangsa”.(Serambi Indonesia, Minggu 5 Maret 2006). Ini tentu sangat menohok guru yang telah bekerja puluhan tahun lamanya dan telah ikut mencerdaskan bapak-bapak yang sedang menjadi pejabat saat ini. Mungkin diantara pejabat yang sedang `naik daun‘ sekarang pernah diajarkan oleh guru yang sebenarnya tak berkualitas dan tak layak mengajar.

       Mungkin benar 50 persen atau bahkan lebih dari itu, guru di Aceh tidak layak mengajar. Karena ini merupakan kajian yang tentu bukan dikerjakan asal-asalan oleh staf pengajar FKIP Unsyiah (kecuali bagi oknum yang membuat penelitian untuk mencairkan dana proyek). Tapi apakah dengan demikian seorang pak Anas harus menohok guru-guru layaknya beliau berasal dari lingkungan lain yang tak ada sangkut-pautnya dengan guru. Bukankah Bapak salah seorang pengambil kebijakan atas berbagai kepentingan untuk meningkatkan mutu guru. Apa yang Bapak lakukan selama memimpin dinas pendidikan, sehingga 50 persen guru tidak layak untuk mengajar dan telah membodohi setengah dari pelajar di daerah ini.

       Juga FKIP, setelah adanya hasil kajian yang mencoreng almamater itu , kebijakan apa yang telah dilakukan. Apakah pola mengajar para dosen masih mengandalkan asisten dan membiarkan mereka dengan pengalaman yang seadanya lalu dengan berbagai alasan terbang ke kelas yang jauh, menitipkan debu-debu lalu mengajaknya berkicau bersama. Ataukah hanya mengirim sekian banyak tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikannya, kemudian pulang tapi tak merobah keadaan. Apakah dengan perangkat uji yang sama mereka pernah diuji untuk membuktikan layak tidaknya mereka meluluskan calon guru?

       Sayang sekali, kesalahan hanya ditimpakan pada guru. Lalu seolah-olah guru bisa saja menerima hal ini dengan pantas. Sungguh sebenarnya ini sangat pahit diterima. Saya juga seorang guru. Mungkin saya termasuk salah satu dari yang tak layak itu. tapi benarkah saya telah membodohi murid-murid saya? Saya sangat-sangat keberatan tentang hal ini. Boleh saja salah satu materi kurang saya kuasai tapi masih banyak materi lain yang telah saya kuasai apalagi jam terbang saya sebagai guru telah sangat banyak.

       Siapakah anak yang berlari-lari kecil di pematang sawah puluhan tahun yang lalu pada pembuka tulisan ini. Sebut saja dia pak Aminullah yang kini memimpin BPD NAD. Beliau datang dari kesejukan sungai Woyla jauh di pedalaman Aceh Barat. Beliau juga hanya lulusan SMEP Meulaboh dan berani mengambil resiko merantau menuntut ilmu. Hari ini, beliau menjadi orang nomor satu di bank milik daerah ini, tentu setelah belajar dan berguru pada orang yang disebut guru. Padahal mungkin saja guru yang mengajar beliau di SD tak pernah mengenyam pendidikan guru.

      Bagaimana dengan guru-guru sekarang, yang sudah mengenyam pendidikan guru. Kenapa mereka menjadi tak layak mengajar seperti apa yang dikaji oleh kalangan FKIP. Adakah yang salah dengan sistem yang diberlakukan sehingga berbagai ketimpangan jatuh ke pundak guru. 

      Dengan berbagai dalih untuk kepentingan guru, berbagai program memang telah diupayakan dinas pendidikan. Bahkan beberapa tahun sebelum terjadinya musibah tsunami dinas pendidikan telah mengirimkan guru-gurunya ke luar negeri yang biayanya jauh lebih mahal dari pada mengontrak tenaga ahli itu untuk datang ke daerah ini dan memberikan ilmunya kepada lebih banyak guru di sini. Pernah terpikir oleh kami yang awam ini , apakah tak ada tenaga profesional di kampus Unsyiah sehingga guru-guru harus dikirim belajar ke luar negeri. Atau apakah itu merupakan hadiah bagi guru-guru yang telah lulus seleksi agar lebih bergairah dalam mengajar.

       Pengalaman guru-guru yang dikirim keluar negeri beberapa angkatan selalu sangat memprihatinkan, baik selama dalam masa pelatihan maupun setelah kembali dari pelatihan. Mungkin pak Anas ketika mengantar rombongan guru-guru ke pulau Penang bisa sekalian membawa keluarga lalu check up kesehatan di sana terus berpesiar bahkan bisa dengan leluasa berbelanja di Kamdar-kamdar besar. Tapi bagi seorang pak guru, untuk berangkat ke sana harus mencari pinjaman uang untuk belanja anak dan istri yang ditinggal di kampung. Lalu dengan uang saku yang sangat minim mereka memang pernah dibawa berjalan melihat kota Kuala Lumpur, tapi sesampai di sana mereka hanya menjadi bagian orang yang lalu lalang di trotoar tanpa mampu membeli sedikit kenang-kenangan. sebagai tanda mata bagi anak dan istri.

         Hal diatas mungkin tak penting bagi Bapak. Karena program itu sudah berjalan dan semua uang proyek sudah ditarik. Tapi kembali lagi yang korban perasaan adalah guru yang telah mendapatkan ilmu. Di samping tak ada yang dapat diterapkan di daerah mereka juga menjadi cibiran teman-temannya karena tak ada yang berobah pada proses belajar mengajar. Mereka masih mengajar secara konvensional. Mungkin Pak Anas sudah mengalihkan untuk satu guru yang pernah belajar di sana akan menjadi pion bagi berapa guru lainnya. Tapi itu tak pernah terjadi di lapangan. Istilahnya tak ada tindak lanjut.

        Lalu kalau kita hitung dari jumlah guru yang tersebar di seluruh Aceh, berapa persenkah guru yang pernah mendapat pencerahan setelah menjadi guru. Rasanya kalau untuk menyentuh kepentingan kecerdasan guru sulit sekali mendapat perhatian dari pihak Bapak di Dinas Pendidikan NAD, tapi kalau membangun fisik pastilah menjadi prioritas utama. 

       Memang, guru bukan lagi sosok yang dihormati. guru juga seperti hidup di negeri tak bertuan. Tak ada yang membela kepentingan guru. Kadangkala guru dianggap sebagai malaikat yang tak butuh kehidupan duniawi. Tidak boleh mengeluh apalagi berontak karena itu tidak sesuai dengan sikap guru. Cukuplah gaji guru seperti sekarang ini.

       Tapi kerjaannya harus lebih banyak, harus lebih berkompetensi walau tanpa fasilitas yang mendukung. Guru honor diperlakukan seperti sapi perahan, diperas susunya setiap saat tapi diberi makan 4-6 bulan sekali itupun hanya beberapa kunyahan saja. Dan itu dilakukan bukan untuk membodohi siswa tetapi justru tanpa pamrih ikut mencerdaskan bangsa. Sekarang terserah penilaian Bapak, apakah kami guru yang telah membodohi siswa dan telah merugikan negara atau bapak-bapak yang mengurus kepentingan kami yang telah membodohi kami dan menguntungkan negara.

*) Penulis adalah seorang guru Matematika pada SMKN2 di Banda Aceh
*) Dimuat di Harian Serambi Indonesia, 5 Maret 2006