Sabtu, 26 Februari 2011

LAPENA TERBITKAN BUKU ANTOLOGI PUISI 3 DI HATI


Pengantar Penerbit
Buku ini memiliki nilai historis yang penting. Saat penyair Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, dan D. Kemalawati berjalan beriring dalam wisata budaya sebagai rangkaian acara Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang. Secara spontan Dimas Arika Mihardja menyebut 3D (maksudnya penyair yang namanya berawalan huruf “D”, tiga dimensi). Tiga penyair yang berawalan huruf “D” (Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, dan D.  Kemalawati) lantas bersepakat untuk mengabadikan momentum historis itu dengan penerbitan buku antologi puisi ini.
Buku ini secara simbolis ingin mengikat proses historis ini. Pada dasarnya, maksud tersebut merupakan serpihan kecil dari kehidupan dalam ruang besar yang sesungguhnya, yang di dalamnya bertabur aneka misteri. Upaya penghayatan terhadap berbagai hal dan misteri dalam kehidupan melahirkan ekspresi dan pemaknaan yang beraneka ragam pula. Sederhananya, setiap manusia memiliki pandangan yang beragam tentang bagaimana ia menghasilkan puisi.
Puisi, dengan berbagai bentuknya, memang unik. Melalui puisi, insan-insan berbudaya bisa meluapkan kegembiraan, sejenak melupakan beban kehidupan. Dengan puisi pula, sejarah bisa dicatat sedemikian rupa –tentu saja dengan bentuknya sendiri. Bisa dilihat betapa banyak sejarah ingatan kemudian bisa diingatkan melalui bait-bait puisi.
Di samping itu, puisi bisa mengisi ruang lainnya. Puisi serupa tali yang mampu mengikat persahabatan, memupuk kehangatan, dan menggalang kebersamaan. Puisi itu serupa lem yang mampu merekatkan angan-angan, menyatukan keinginan, dan memadukan impian. Puisi serupa hidangan yang dapat disantap saat “upacara kenduri” dan dapat mengenyangkan batin, memuaskan dahaga jiwa, serta memberikaan tawaran-tawaran yang khas.
Dengan penerbitan buku ini diharapkan segala dimensi keunikan puisi mampu menawarkan silaturahmi batiniah yang mencerahkan. Kami selaku penerbit dengan tulus menyampaikan penghargaan dan terima kasih atas kepercayaan 3 D( Diah Hadining, Dimas Arika Mihardja, dan D Kemalawati) pada kami, untuk menerbitkan puisi yang multi dimensi ini. 

Banda Aceh, November 2010
Direktur Lapena


Helmi Hass

Jumat, 25 Februari 2011

D. KEMALAWATI, YA GURU MATEMATIKA, YA PEGIAT SENI


Quantcast

Debra H Yatim


Awal April terjadi peristiwa menarik bagi dunia sastra Aceh. Walikota Banda Aceh, Razali Yusuf, menyatakan bersedia membeli buku puisi Surat Dari Negeri Tak Bertuan karya D. Kemalawati untuk disalurkan ke sekolah-sekolah di ibukota NAD itu.
D. Kemalawati, bersama Helmi Hass, Harun Al Rasyid, Saiful Bahri, Mutia Erawati, Sulaiman Tripa, dan Erwinsyah, adalah pendiri Lapena, organisasi kebudayaan dan kemasyarakatan non-profit untuk memajukan kebudayaan. “Kami menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk membangun Lapena,” kata Kemalawati, yang akrab dipanggil Deknong.
Penyair dan penari putri Aceh ini guru matematika di sebuah sekolah menengah di Banda Aceh. Beberapa tarian tradisional dikuasainya dengan baik ketika masih di SD. Ia pernah menjadi syekh Pho, tari sangat terkenal dari pantai barat-selatan Aceh. Bebas mengekspresikan diri, katanya pada acehkota, “Karena sebagai syeh saya boleh saja lebih dominan dari penari lainnya.”
Deknong selalu menjadi bintang kelas. Pelajaran berhitung (kini: matematika) dikuasainya dengan amat cepat. Tapi karena nilai bernyanyi selalu kurang, ia menutupinya dengan mengutip baris-baris puisi dari majalah Dunia Wanita dan harian Waspada terbitan Medan. Saat ada perlombaan murid teladan tingkat SD se-Kabupaten Aceh Barat, ia menulis puisi. Walau tak jadi pemenang, kenangnya, “Itu yang membuat saya menjadi istimewa.”
Kemalawati baru mempublikasikan puisinya setamat SMA di Meulaboh. “Padahal hampir di semua kulit belakang buku pelajaran saya bertuliskan puisi,” katanya. Puisi pertamanya dimuat Waspada ketika ia kuliah di FKIP Pendidikan Matematika Unsyiah. Judulnya Ombak.
Puisi itulah yang mengilhami pelukis Virse Venny mencipta lukisan tentang ombak. “Dan itu menjadi hadiah termahal yang saya terima dari seorang sahabat baik, yang kemudian menjadi pendamping hidup saya,” kata Kemalawati menirukan suaminya, sastrawan dan wartawan Helmi Hass.
Siapa nyana, Virse Venny ikut terbawa geulumbang rayeuk, Desember 2004. “Ombak yang dilukiskan di kanvas biru telah menggulungnya bersama anak dan suaminya, Nurgani Asyik. Penyair ini banyak menyirami kekeringan puisi-puisi saya,” aku Nong. Tiap Selasa malam, Nurgani menyiarkan beberapa karyanya lewat Radio Expo 70 yang sangat terkenal pada 1985 sampai Kemalawati selesai kuliah.
Di Banda Aceh kala itu tak ada harian yang bertahan lama. Deknong lalu berpaling ke koran kampus, Warta Unsyiah, yang kerap memuat puisi-puisinya dan dibicarakan kawan-kawannya. Kemunculan cerpennya, Prinsip, jadi pembicaraan hangat karena menceritakan seseorang yang nekad mengenakan jilbab – yang sekitar 1984-85 tak lazim bagi mahasiswa non-IAIN. “Padahal rambut saya saat itu hampir menyentuh kaki,” kenangnya. Si Aku dalam cerita itu bahkan menolak dipacari satu pemuda yang kuliah di Amerika, hanya karena lelaki itu ingin dia melepas jilbabnya.
Sekitar 1987, saat menulis tentang Kemalawati di Waspada, penyair dan wartawan senior L.K. Ara menjulukinya ’penyair dengan seribu puisi’. “Saya baru sadar puisi-puisi saya bernilai ketika setiap puisi yang saya kirim ke Bang Hasyim Ks (alm), redaktur budaya pertama di Serambi Indonesia selalu dimuat,” kata Deknong. Karena dokumentasinya tak rapi, buku puisi Surat dari Negeri Tak Bertuan, yang diluncurkan awal April lalu hanya memuat 84 judul puisi. “Jadi sebutan ’penyair dengan seribu puisi’ terlalu dibesar-besarkan,” katanya merendah.
Menjadi guru (matematika) memang tujuan utama Kemalawati. Maka, meskpun ada menjadi wartawan seusai kuliah, Nong menerima pengangkatannya sebagai guru matematika di Meulaboh. “Maka lunaslah janji batin saya,” kenangnya.
Anak bungsu dari lima bersaudara – tiga antaranya guru — . ini menganggap profesi guru dan seniman saling melengkapi. “Seringkali puisi saya lahir saat siswa saya sedang mengerjakan latihan matematika,” katanya. Banyak karyanya mengangkat pengalaman guru, termasuk satu cerpennya yang masuk nominasi dalam lomba penulisan cerpen guru tingkat nasional tahun 2004.
Sekarang Kemalawati berkonsentrasi pada penerbitan buku. Ia sedang mempersiapkan antologi cerpen dan novel tentang tsunami yang “tanpa haru-biru.”
Sekitar 1998, beberapa seniman bertemu di rumah Kemalawati untuk mendirikan Dewan Kesenian Banda Aceh. Namun mereka justru mendirikan Lapena, yang sangat aktif mendiskusi kebudayaan. Lapena telah menerbitkan empat judul buku sastra: Ziarah Ombak, antologi puisi bersama penyair Aceh dan Malaysia; Menunggu Pagi Datang, cerpen Sulaiman Tripa dalam tiga bahasa, Aceh, Indonesia dan Inggris; Nyanyian Manusia, antologi puisi Harun Al Rasyid, dan bukunya Kemalawati sendiri, Surat Dari Negeri Tak Bertuan – Letter From a No-Man’s Land itu.
Mereka berambisi menjadikan Lapena sebuah penerbitan besar di Aceh. “Mudah-mudahan impian itu dikabulkan Allah,” doanya. Beberapa buku penyair besar Aceh sedang digarap Lapena.
Kemalawati berkenalan dengan suaminya, Helmi Hass, yang juga asal Meulaboh, di bangku kuliah. Helmi mahasiswa Fakultas Hukum dan ia di FKIP Unsyiah.”Kami selalu berada dalam event yang sama,” katanya mengenang. “Dia pemain drama, penulis dan pembaca puisi yang pernah menjuarai baca puisi tingkat Kampus Unsyiah.’
Tiga tahun kemudian, akhir 1992, kedua sahabat itu menikah, dan kini dikaruniai tiga orang anak, dua laki-laki satu perempuan. Bakat seni pun mulai tampak pada anak-anaknya.
“Tsunami membawa banyak hal dalam perjalanan kepenyairan saya,” katanya. Ia melihat Aceh masih muram. “Saya tak ingin memprediksikan Aceh ke depan. Walau pun ada MoU, Aceh masih dalam bayangan menakutkan. Kita kembali harus tiarap demi kepentingan sekelompok orang yang mengatasnamakan syariat dan hukum adat. Kita tak melihat perubahan yang signifikan pada mereka yang merupakan pengambil kebijakan. Mereka masih berkutat pada pemikiran sendiri.” Padahal, pendidikan di Aceh masih sangat terpuruk. Pascakonflik dan pascatsunami adalah masa yang sangat luar biasa beratnya bagi kita, ditambah lagi berbagai qanun yang dipaksakan harus berlaku sementara sosialisasinya berjalan di tempat. “Saya masih melihat kemurungan-kemurungan yang bakal panjang dihari-hari depan.” (dhy)

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Koran Acehkita, 17 April 2006.

Senin, 21 Februari 2011

PENGETAHUAN LOKAL PILIH KEBERLANJUTAN EKOLOGI



Oleh: HE. Benyamine

Pengetahuan lokal mencerminkan kearifan, wawasan lingkungan dan keberlanjutan banyak dijumpai di seluruh pelosok Indonesia. Walaupun, masyarakat lokal masih jarang diperhatikan dan apalagi dipahami sifat kemiskinannya (Chambers, 1987), dan mereka masih tergantung dan bersatu dengan alam (Beratha 1991), membuat mereka selalu mengalami proses belajar dan adaptasi dengan lingkungan hidup, dengan cara yang arif dan dituntun oleh nilai moral dalam berhadapan dengan alam.
Seperti istilah agroforestry yang mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak 1970-an. Definisi Agroferstry atau wanatani, berdasarkan Whitten, dkk (1999) dalam Iskandar (2001) adalah sistem tata guna lahan yang sesuai dengan praktek-praktek budaya dan kondisi lingkungan setempat, yang tanaman semusim atau tahunan dapat dibudidayakan secara bersama-sama atau rotasi, bahkan kadang-kadang dalam beberapa lapisan sehingga memungkinkan produksi yang dilakukan terus-menerus karena pengaruh peningkatan kondisi tanah dan iklim mikro yang tersedia di hutan. Sistem ini juga mencakup peternakan.

Menurut Iskandar (2001) bahwa agroforestry, sebagai sistem pertanian, sudah cukup lama dipraktekkan secara luas di Indonesia. Dapat dikatakan merupakan pengetahuan lokal masyarakat Indonesia yang telah dimodifikasi dan mampu beradaptasi terhadap perubahan biofisik dan sosial-ekonomi masyarakat.
Sistem agroforestry yang telah dipraktekkan masyarakat, tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lokal yang melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan. Di sini terlihat bagaimana masyarakat lokal melakukan hubungan timbal balik dengan sumberdaya alam lokal, yang menghasilkan pengetahuan lokal yang arif, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Iskandar (2001) menyatakan bahwa sistem agroforestry yang dipraktekkan masyarakat lokal ini terjadi dari proses interaksi secara intensif antara berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, kepadatan penduduk dengan sistem biofisik. Dalam sistem agroforestry masyarakat lokal tersebut, sebenarnya merupakan suatu pendekatan yang holistik.

Keraf (2002) menyatakan, pendekatan holistik mempunyai dampak yang sangat positif bagi etika dan lingkungan hidup. Pertama, pendekatan holistik tidak menerima bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai, karena nilai ikut mempengaruhi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bebas nilai akan mengabaikan dampak terhadap alam, terhadap realitas kehidupan, yang selanjutnya akan terjadi reaksi yang merugikan manusia. Kedua, paradigma holistik tidak melihat manusia sebagai bagian yang terpisah dari dan/atau berada di atas alam. Manusia adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari dan/atau menyatu dengan alam. Sehingga, manusia mempunyai sikap hormat terhadap alam, yang kemudian menjadi bagian integral yang menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, aspek-aspek kualitatif seperti pertimbangan nilai, aspek budaya, estetis, sosial, dan manusiawi ikut berpengaruh menentukan arah kebijakan yang diambil. Sehingga, tidak hanya mempertimbangkan aspek dan manfaat ekonomi, tetapi aspek lainya juga diperhitungkan.

Dalam upaya mempertahankan sistem pertanian ladang yang arif, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, para petani ladang adalah melakukan adaptasi dan integrasi teknologi yang mereka kuasai dan gunakan terhadap aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya lokal. Dalam aspek ekologi, Geertz (1976) menemukan model ideal integrasi dengan lingkungan lokal. Di daerah-daerah tropis, secara umum struktur vegetasi tanaman yang menyusun sistem pertanian ladang menirukan (mimicry) struktur vegetasi hutan sekitarnya. Dalam menirukan hutan tropis, ada tiga cara yang dilakukan masyarakat lokal, yakni: (1) memiliki keanekaragaman jenis-jenis atau varietas tanaman yang tinggi, (2) rasio jumlah unsur hara yang tersimpan pada bentuk vegetasi dan tersimpan di tanah sangat tinggi, dan (3) sistem umum di hutan tropis dan bentuk ladang merupakan struktur yang tertutup.

Dalam mempertahankan sistem ladang, para peladang melakukan berbagai cara. Pertama, menanam berbagai jenis tanaman yang sesuai dan susunannya menyerupai struktur hutan yang belum dibuka, dengan mengupayakan struktur vegetasi di ladang memiliki stratifikasi yang berlapis-lapis seperti yang ada di hutan. Kedua, unsur hara tanaman utamanya disimpan di biomassa vegetasi, sehingga pengelolaan dinamika vegetasi sangat hati-hati, seperti pengelolaan waktu dan kesuburan tanah. Ketiga, karena bentuk ladang mempunyai banyak jenis tanaman, struktur vegetasi ladang ditutupi tajuk tanaman yang mempunyai banyak fungsi. Dengan model ini, pengelolaan ladang cenderung efektif, yang dengan demikian lebih arif dan berkelanjutan (Geertz, 1976).

Sistem pertanian ladang dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang jika mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan kondisi lokal, dan didukung oleh sumber daya nonpertanian. Selain itu, akses lahan dan sumber daya alam lainnya terjamin serta daya dukung tidak terlampaui (Iskandar, 2001). Sistem perladangan yang demikian banyak memberikan keuntungan, seperti memberikan hasil yang berkelanjutan, adanya keanekaragaman bahan pangan yang dihasilkan sepanjang tahun, terhindar dari bahaya kegagalan panen karena serangan hama, mereduksi tumbuhan pengganggu, efisien dalam penggunaan energi, menjaga unsur hara tanah, dan konservasi keanekaragaman genetik.
Pembangunan berkelanjutan, juga menjadi tuntutan kepada Bank Dunia, karena hanya sedikit kegiatan-kegiatan yang bersifat netral dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional dan global dari Bank Dunia, dan malah tidak sedikit yang mengakibatkan kerusakan habitat dan lingkungan dengan dukungannya terhadap proyek-proyek berskala besar seperti pembukaan jalan, bendungan, pemukiman, dan perkebunan monokultur. (Seymour, 1999). Adapun masalah-masalah lingkungan berkelanjutan, yakni: (1) Di semua negara berkembang, usaha-usaha pengolahan modal alam dalam bentuk pembabatan hutan, pembukaan lahan, perikanan dan keanekaragaman genetika ternyata telah mengancam persediaan pangan lokal dan dunia, dengan makin tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara persaingan untuk pasokan sumber air telah muncul sebagai sumber konflik antar dan dalam masyarakat, (2) Naiknya polusi air dan udara adalah ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat pada tingkat lokal dalam pembangunan dan transisi ekonomi, sementara naiknya emisi dan gas beracun serta efek rumah kaca serta limbah bahan beracun telah mengancam kelestarian ekosistem pada tingkat global, dan (3) Kritik yang timbul menuduh Bank Dunia terus melanjutkan dukunganya pada proyek dan kebijakan yang bertentangan dengan sasaran pembangunan berwawasan lingkungan, dan telah hilang kesempatannya untuk membantu negara-negara untuk mengubah jalan pembangunan yang lebih berwawasan lingkungan.

Kemiskinan adalah suatu keadaan manusia yang hanya sanggup memenuhi kebutuhannya dengan cara yang sangat minimal dan kehilangan dengan akses sumberdaya yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini sangat berhubungan dengan keadaan ekologi di mana manusia tersebut berada. Dalam berbagai skala, kegiatan yang dibiayai Bank Dunia membuat berbagai pengetahuan lokal yang ada begitu saja diabaikan, dan digantikan dengan sistem yang diyakini ditunjang dengan pengetahuan modern, yang pada kenyataannya lebih cenderung memiskinkan manusia di berbagai tempat kegiatan tersebut.

Pembangunan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, sangat tergantung bagaimana mengelola sumber daya lingkungan hidup suatu wilayah, dan bila tidak, akan melahirkan generasi penerus yang miskin seperti pendahulunya dan bahkan lebih miskin lagi, karena ketidakmampuan mewariskan lingkungan dan sumberdaya yang memadai bagi penerus tersebut.
Untuk mempertahankan sistem-sistem pengelolaan ekologi tradisional yang sebenarnya dapat mengurungai kemiskinan, Brown dkk (1995) mengemukakan syarat-syarat berikut ini, yakni: (1) penduduk asli harus mempunyai hak-hak yang pasti akan basis subsistensi mereka – hak-hak yang bukan saja diakui melainkan ditegakkan oleh negara dan idealnya didukung oleh hukum internasional, (2) agar pengelolaan ekologi pribumi berhasil mengalahkan serbuan dunia luar, penduduk asli haru diorganisir secara politik dan negara di mana mereka tinggal harus memberi kesempatan kepada prakarsa-prakarsa demokratis, dan (3) masyarakat asli harus mempunyai kemudahan mencapai informasi, dukungan, dan nasihat dari sumber-sumber yang bersahabat kalau mereka diharapkan dapat mengatasi rintangan-rintangan dari dunia luar.

Menurut Zen dalam Alkadri dkk. (1999) bahwa pengembangan wilayah sebenarnya bagaimana memberdayakan masyarakat setempat, dalam hal memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan setempat dengan peralatan yang mereka miliki atau kuasai, dan relevan dengan kebutuhan. Di sini, pengetahuan lokal dan teknologi lokal menjadi penting untuk diperhatikan sebagai bagian dari pengembangan wilayah. Sementara itu, kesan teknologi yang dimaksudkan biasanya identik dengan industri masih sering terdengar dan dijadikan acuan karena lebih terkesan modern. Padahal teknologi bukan berarti industri, dan juga bukan berupa fisik seperti mesin-mesin. Teknologi secara lebih luas dapat dibagi menjadi empat komponen, yakni: technoware, humanware, infoware, dan orgaware. Semua komponen dari teknologi tersebut selalu berperan dalam sebuah proses transformasi dalam merubah dari input menjadi output. Juga, perlu ditekankan bahwa teknologi merupakan hasil proses pikir dari suatu pengetahuan (Saswinadi Sasmojo dalam Alkadri, 1999).

Sistem-sistem pengelolaan masyarakat lokal yang menggunakan berbagai macam teknik untuk memelihara hutan, padang rumput, pertanian, perikanan, dan binatang-binatang liar mereka, menunjukkan berbagai sistem yang berbeda dalam upaya menjaga keberlanjutan pengelolaan dan menjamin kehidupan. Cara hidup seperti ini telah berkembang selama beberapa generasi, dan diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya, hanya dapat berkembang dengan memasukkan keberlanjutan ekologi ke dalam kumpulan kebiasaan, mitos, dan tabu yang diwariskan secara turun-temurun.

Namun demikian, pengetahuan lokal yang terabaikan dan terpinggirkan karena pendekatan atau kebijakan pembangunan yang cenderung penyeragaman aksi untuk peningkatan ekonomi sebagai pengakuan atas kesejahteraan dan sekaligus sebagai ukurannya, yang membuat kerusakan lingkungan hidup dan sosial terus meningkat. Brown dkk (1995) menyatakan bahwa sekalipun sistem pengelolaan tradisional ini cerdik, tetapi juga mempunyai kerawanannya. Apabila, masyarakat sudah berada pada tekanan-tekanan ekonomi uang, teknologi-teknologi modern, pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, maka mulai berpengaruh dalam merubah pendekatan pengelolaan tradisional mereka kerena kerapkali mengalami kegagalan dengan akibat kerusakan lingkungan hidup mereka. Pengakuan dan penghargaan pada pengetahuan lokal merupakan pilihan dalam keberlanjutan ekologi.

(Radar Banjarmasin, 17 Juni 2010: 3)