Jumat, 25 Februari 2011

D. KEMALAWATI, YA GURU MATEMATIKA, YA PEGIAT SENI


Quantcast

Debra H Yatim


Awal April terjadi peristiwa menarik bagi dunia sastra Aceh. Walikota Banda Aceh, Razali Yusuf, menyatakan bersedia membeli buku puisi Surat Dari Negeri Tak Bertuan karya D. Kemalawati untuk disalurkan ke sekolah-sekolah di ibukota NAD itu.
D. Kemalawati, bersama Helmi Hass, Harun Al Rasyid, Saiful Bahri, Mutia Erawati, Sulaiman Tripa, dan Erwinsyah, adalah pendiri Lapena, organisasi kebudayaan dan kemasyarakatan non-profit untuk memajukan kebudayaan. “Kami menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk membangun Lapena,” kata Kemalawati, yang akrab dipanggil Deknong.
Penyair dan penari putri Aceh ini guru matematika di sebuah sekolah menengah di Banda Aceh. Beberapa tarian tradisional dikuasainya dengan baik ketika masih di SD. Ia pernah menjadi syekh Pho, tari sangat terkenal dari pantai barat-selatan Aceh. Bebas mengekspresikan diri, katanya pada acehkota, “Karena sebagai syeh saya boleh saja lebih dominan dari penari lainnya.”
Deknong selalu menjadi bintang kelas. Pelajaran berhitung (kini: matematika) dikuasainya dengan amat cepat. Tapi karena nilai bernyanyi selalu kurang, ia menutupinya dengan mengutip baris-baris puisi dari majalah Dunia Wanita dan harian Waspada terbitan Medan. Saat ada perlombaan murid teladan tingkat SD se-Kabupaten Aceh Barat, ia menulis puisi. Walau tak jadi pemenang, kenangnya, “Itu yang membuat saya menjadi istimewa.”
Kemalawati baru mempublikasikan puisinya setamat SMA di Meulaboh. “Padahal hampir di semua kulit belakang buku pelajaran saya bertuliskan puisi,” katanya. Puisi pertamanya dimuat Waspada ketika ia kuliah di FKIP Pendidikan Matematika Unsyiah. Judulnya Ombak.
Puisi itulah yang mengilhami pelukis Virse Venny mencipta lukisan tentang ombak. “Dan itu menjadi hadiah termahal yang saya terima dari seorang sahabat baik, yang kemudian menjadi pendamping hidup saya,” kata Kemalawati menirukan suaminya, sastrawan dan wartawan Helmi Hass.
Siapa nyana, Virse Venny ikut terbawa geulumbang rayeuk, Desember 2004. “Ombak yang dilukiskan di kanvas biru telah menggulungnya bersama anak dan suaminya, Nurgani Asyik. Penyair ini banyak menyirami kekeringan puisi-puisi saya,” aku Nong. Tiap Selasa malam, Nurgani menyiarkan beberapa karyanya lewat Radio Expo 70 yang sangat terkenal pada 1985 sampai Kemalawati selesai kuliah.
Di Banda Aceh kala itu tak ada harian yang bertahan lama. Deknong lalu berpaling ke koran kampus, Warta Unsyiah, yang kerap memuat puisi-puisinya dan dibicarakan kawan-kawannya. Kemunculan cerpennya, Prinsip, jadi pembicaraan hangat karena menceritakan seseorang yang nekad mengenakan jilbab – yang sekitar 1984-85 tak lazim bagi mahasiswa non-IAIN. “Padahal rambut saya saat itu hampir menyentuh kaki,” kenangnya. Si Aku dalam cerita itu bahkan menolak dipacari satu pemuda yang kuliah di Amerika, hanya karena lelaki itu ingin dia melepas jilbabnya.
Sekitar 1987, saat menulis tentang Kemalawati di Waspada, penyair dan wartawan senior L.K. Ara menjulukinya ’penyair dengan seribu puisi’. “Saya baru sadar puisi-puisi saya bernilai ketika setiap puisi yang saya kirim ke Bang Hasyim Ks (alm), redaktur budaya pertama di Serambi Indonesia selalu dimuat,” kata Deknong. Karena dokumentasinya tak rapi, buku puisi Surat dari Negeri Tak Bertuan, yang diluncurkan awal April lalu hanya memuat 84 judul puisi. “Jadi sebutan ’penyair dengan seribu puisi’ terlalu dibesar-besarkan,” katanya merendah.
Menjadi guru (matematika) memang tujuan utama Kemalawati. Maka, meskpun ada menjadi wartawan seusai kuliah, Nong menerima pengangkatannya sebagai guru matematika di Meulaboh. “Maka lunaslah janji batin saya,” kenangnya.
Anak bungsu dari lima bersaudara – tiga antaranya guru — . ini menganggap profesi guru dan seniman saling melengkapi. “Seringkali puisi saya lahir saat siswa saya sedang mengerjakan latihan matematika,” katanya. Banyak karyanya mengangkat pengalaman guru, termasuk satu cerpennya yang masuk nominasi dalam lomba penulisan cerpen guru tingkat nasional tahun 2004.
Sekarang Kemalawati berkonsentrasi pada penerbitan buku. Ia sedang mempersiapkan antologi cerpen dan novel tentang tsunami yang “tanpa haru-biru.”
Sekitar 1998, beberapa seniman bertemu di rumah Kemalawati untuk mendirikan Dewan Kesenian Banda Aceh. Namun mereka justru mendirikan Lapena, yang sangat aktif mendiskusi kebudayaan. Lapena telah menerbitkan empat judul buku sastra: Ziarah Ombak, antologi puisi bersama penyair Aceh dan Malaysia; Menunggu Pagi Datang, cerpen Sulaiman Tripa dalam tiga bahasa, Aceh, Indonesia dan Inggris; Nyanyian Manusia, antologi puisi Harun Al Rasyid, dan bukunya Kemalawati sendiri, Surat Dari Negeri Tak Bertuan – Letter From a No-Man’s Land itu.
Mereka berambisi menjadikan Lapena sebuah penerbitan besar di Aceh. “Mudah-mudahan impian itu dikabulkan Allah,” doanya. Beberapa buku penyair besar Aceh sedang digarap Lapena.
Kemalawati berkenalan dengan suaminya, Helmi Hass, yang juga asal Meulaboh, di bangku kuliah. Helmi mahasiswa Fakultas Hukum dan ia di FKIP Unsyiah.”Kami selalu berada dalam event yang sama,” katanya mengenang. “Dia pemain drama, penulis dan pembaca puisi yang pernah menjuarai baca puisi tingkat Kampus Unsyiah.’
Tiga tahun kemudian, akhir 1992, kedua sahabat itu menikah, dan kini dikaruniai tiga orang anak, dua laki-laki satu perempuan. Bakat seni pun mulai tampak pada anak-anaknya.
“Tsunami membawa banyak hal dalam perjalanan kepenyairan saya,” katanya. Ia melihat Aceh masih muram. “Saya tak ingin memprediksikan Aceh ke depan. Walau pun ada MoU, Aceh masih dalam bayangan menakutkan. Kita kembali harus tiarap demi kepentingan sekelompok orang yang mengatasnamakan syariat dan hukum adat. Kita tak melihat perubahan yang signifikan pada mereka yang merupakan pengambil kebijakan. Mereka masih berkutat pada pemikiran sendiri.” Padahal, pendidikan di Aceh masih sangat terpuruk. Pascakonflik dan pascatsunami adalah masa yang sangat luar biasa beratnya bagi kita, ditambah lagi berbagai qanun yang dipaksakan harus berlaku sementara sosialisasinya berjalan di tempat. “Saya masih melihat kemurungan-kemurungan yang bakal panjang dihari-hari depan.” (dhy)

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Koran Acehkita, 17 April 2006.

1 komentar: