Senin, 21 Februari 2011

PENGETAHUAN LOKAL PILIH KEBERLANJUTAN EKOLOGI



Oleh: HE. Benyamine

Pengetahuan lokal mencerminkan kearifan, wawasan lingkungan dan keberlanjutan banyak dijumpai di seluruh pelosok Indonesia. Walaupun, masyarakat lokal masih jarang diperhatikan dan apalagi dipahami sifat kemiskinannya (Chambers, 1987), dan mereka masih tergantung dan bersatu dengan alam (Beratha 1991), membuat mereka selalu mengalami proses belajar dan adaptasi dengan lingkungan hidup, dengan cara yang arif dan dituntun oleh nilai moral dalam berhadapan dengan alam.
Seperti istilah agroforestry yang mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak 1970-an. Definisi Agroferstry atau wanatani, berdasarkan Whitten, dkk (1999) dalam Iskandar (2001) adalah sistem tata guna lahan yang sesuai dengan praktek-praktek budaya dan kondisi lingkungan setempat, yang tanaman semusim atau tahunan dapat dibudidayakan secara bersama-sama atau rotasi, bahkan kadang-kadang dalam beberapa lapisan sehingga memungkinkan produksi yang dilakukan terus-menerus karena pengaruh peningkatan kondisi tanah dan iklim mikro yang tersedia di hutan. Sistem ini juga mencakup peternakan.

Menurut Iskandar (2001) bahwa agroforestry, sebagai sistem pertanian, sudah cukup lama dipraktekkan secara luas di Indonesia. Dapat dikatakan merupakan pengetahuan lokal masyarakat Indonesia yang telah dimodifikasi dan mampu beradaptasi terhadap perubahan biofisik dan sosial-ekonomi masyarakat.
Sistem agroforestry yang telah dipraktekkan masyarakat, tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lokal yang melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan. Di sini terlihat bagaimana masyarakat lokal melakukan hubungan timbal balik dengan sumberdaya alam lokal, yang menghasilkan pengetahuan lokal yang arif, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Iskandar (2001) menyatakan bahwa sistem agroforestry yang dipraktekkan masyarakat lokal ini terjadi dari proses interaksi secara intensif antara berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, kepadatan penduduk dengan sistem biofisik. Dalam sistem agroforestry masyarakat lokal tersebut, sebenarnya merupakan suatu pendekatan yang holistik.

Keraf (2002) menyatakan, pendekatan holistik mempunyai dampak yang sangat positif bagi etika dan lingkungan hidup. Pertama, pendekatan holistik tidak menerima bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai, karena nilai ikut mempengaruhi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bebas nilai akan mengabaikan dampak terhadap alam, terhadap realitas kehidupan, yang selanjutnya akan terjadi reaksi yang merugikan manusia. Kedua, paradigma holistik tidak melihat manusia sebagai bagian yang terpisah dari dan/atau berada di atas alam. Manusia adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari dan/atau menyatu dengan alam. Sehingga, manusia mempunyai sikap hormat terhadap alam, yang kemudian menjadi bagian integral yang menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, aspek-aspek kualitatif seperti pertimbangan nilai, aspek budaya, estetis, sosial, dan manusiawi ikut berpengaruh menentukan arah kebijakan yang diambil. Sehingga, tidak hanya mempertimbangkan aspek dan manfaat ekonomi, tetapi aspek lainya juga diperhitungkan.

Dalam upaya mempertahankan sistem pertanian ladang yang arif, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, para petani ladang adalah melakukan adaptasi dan integrasi teknologi yang mereka kuasai dan gunakan terhadap aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya lokal. Dalam aspek ekologi, Geertz (1976) menemukan model ideal integrasi dengan lingkungan lokal. Di daerah-daerah tropis, secara umum struktur vegetasi tanaman yang menyusun sistem pertanian ladang menirukan (mimicry) struktur vegetasi hutan sekitarnya. Dalam menirukan hutan tropis, ada tiga cara yang dilakukan masyarakat lokal, yakni: (1) memiliki keanekaragaman jenis-jenis atau varietas tanaman yang tinggi, (2) rasio jumlah unsur hara yang tersimpan pada bentuk vegetasi dan tersimpan di tanah sangat tinggi, dan (3) sistem umum di hutan tropis dan bentuk ladang merupakan struktur yang tertutup.

Dalam mempertahankan sistem ladang, para peladang melakukan berbagai cara. Pertama, menanam berbagai jenis tanaman yang sesuai dan susunannya menyerupai struktur hutan yang belum dibuka, dengan mengupayakan struktur vegetasi di ladang memiliki stratifikasi yang berlapis-lapis seperti yang ada di hutan. Kedua, unsur hara tanaman utamanya disimpan di biomassa vegetasi, sehingga pengelolaan dinamika vegetasi sangat hati-hati, seperti pengelolaan waktu dan kesuburan tanah. Ketiga, karena bentuk ladang mempunyai banyak jenis tanaman, struktur vegetasi ladang ditutupi tajuk tanaman yang mempunyai banyak fungsi. Dengan model ini, pengelolaan ladang cenderung efektif, yang dengan demikian lebih arif dan berkelanjutan (Geertz, 1976).

Sistem pertanian ladang dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang jika mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan kondisi lokal, dan didukung oleh sumber daya nonpertanian. Selain itu, akses lahan dan sumber daya alam lainnya terjamin serta daya dukung tidak terlampaui (Iskandar, 2001). Sistem perladangan yang demikian banyak memberikan keuntungan, seperti memberikan hasil yang berkelanjutan, adanya keanekaragaman bahan pangan yang dihasilkan sepanjang tahun, terhindar dari bahaya kegagalan panen karena serangan hama, mereduksi tumbuhan pengganggu, efisien dalam penggunaan energi, menjaga unsur hara tanah, dan konservasi keanekaragaman genetik.
Pembangunan berkelanjutan, juga menjadi tuntutan kepada Bank Dunia, karena hanya sedikit kegiatan-kegiatan yang bersifat netral dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional dan global dari Bank Dunia, dan malah tidak sedikit yang mengakibatkan kerusakan habitat dan lingkungan dengan dukungannya terhadap proyek-proyek berskala besar seperti pembukaan jalan, bendungan, pemukiman, dan perkebunan monokultur. (Seymour, 1999). Adapun masalah-masalah lingkungan berkelanjutan, yakni: (1) Di semua negara berkembang, usaha-usaha pengolahan modal alam dalam bentuk pembabatan hutan, pembukaan lahan, perikanan dan keanekaragaman genetika ternyata telah mengancam persediaan pangan lokal dan dunia, dengan makin tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara persaingan untuk pasokan sumber air telah muncul sebagai sumber konflik antar dan dalam masyarakat, (2) Naiknya polusi air dan udara adalah ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat pada tingkat lokal dalam pembangunan dan transisi ekonomi, sementara naiknya emisi dan gas beracun serta efek rumah kaca serta limbah bahan beracun telah mengancam kelestarian ekosistem pada tingkat global, dan (3) Kritik yang timbul menuduh Bank Dunia terus melanjutkan dukunganya pada proyek dan kebijakan yang bertentangan dengan sasaran pembangunan berwawasan lingkungan, dan telah hilang kesempatannya untuk membantu negara-negara untuk mengubah jalan pembangunan yang lebih berwawasan lingkungan.

Kemiskinan adalah suatu keadaan manusia yang hanya sanggup memenuhi kebutuhannya dengan cara yang sangat minimal dan kehilangan dengan akses sumberdaya yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini sangat berhubungan dengan keadaan ekologi di mana manusia tersebut berada. Dalam berbagai skala, kegiatan yang dibiayai Bank Dunia membuat berbagai pengetahuan lokal yang ada begitu saja diabaikan, dan digantikan dengan sistem yang diyakini ditunjang dengan pengetahuan modern, yang pada kenyataannya lebih cenderung memiskinkan manusia di berbagai tempat kegiatan tersebut.

Pembangunan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, sangat tergantung bagaimana mengelola sumber daya lingkungan hidup suatu wilayah, dan bila tidak, akan melahirkan generasi penerus yang miskin seperti pendahulunya dan bahkan lebih miskin lagi, karena ketidakmampuan mewariskan lingkungan dan sumberdaya yang memadai bagi penerus tersebut.
Untuk mempertahankan sistem-sistem pengelolaan ekologi tradisional yang sebenarnya dapat mengurungai kemiskinan, Brown dkk (1995) mengemukakan syarat-syarat berikut ini, yakni: (1) penduduk asli harus mempunyai hak-hak yang pasti akan basis subsistensi mereka – hak-hak yang bukan saja diakui melainkan ditegakkan oleh negara dan idealnya didukung oleh hukum internasional, (2) agar pengelolaan ekologi pribumi berhasil mengalahkan serbuan dunia luar, penduduk asli haru diorganisir secara politik dan negara di mana mereka tinggal harus memberi kesempatan kepada prakarsa-prakarsa demokratis, dan (3) masyarakat asli harus mempunyai kemudahan mencapai informasi, dukungan, dan nasihat dari sumber-sumber yang bersahabat kalau mereka diharapkan dapat mengatasi rintangan-rintangan dari dunia luar.

Menurut Zen dalam Alkadri dkk. (1999) bahwa pengembangan wilayah sebenarnya bagaimana memberdayakan masyarakat setempat, dalam hal memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan setempat dengan peralatan yang mereka miliki atau kuasai, dan relevan dengan kebutuhan. Di sini, pengetahuan lokal dan teknologi lokal menjadi penting untuk diperhatikan sebagai bagian dari pengembangan wilayah. Sementara itu, kesan teknologi yang dimaksudkan biasanya identik dengan industri masih sering terdengar dan dijadikan acuan karena lebih terkesan modern. Padahal teknologi bukan berarti industri, dan juga bukan berupa fisik seperti mesin-mesin. Teknologi secara lebih luas dapat dibagi menjadi empat komponen, yakni: technoware, humanware, infoware, dan orgaware. Semua komponen dari teknologi tersebut selalu berperan dalam sebuah proses transformasi dalam merubah dari input menjadi output. Juga, perlu ditekankan bahwa teknologi merupakan hasil proses pikir dari suatu pengetahuan (Saswinadi Sasmojo dalam Alkadri, 1999).

Sistem-sistem pengelolaan masyarakat lokal yang menggunakan berbagai macam teknik untuk memelihara hutan, padang rumput, pertanian, perikanan, dan binatang-binatang liar mereka, menunjukkan berbagai sistem yang berbeda dalam upaya menjaga keberlanjutan pengelolaan dan menjamin kehidupan. Cara hidup seperti ini telah berkembang selama beberapa generasi, dan diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya, hanya dapat berkembang dengan memasukkan keberlanjutan ekologi ke dalam kumpulan kebiasaan, mitos, dan tabu yang diwariskan secara turun-temurun.

Namun demikian, pengetahuan lokal yang terabaikan dan terpinggirkan karena pendekatan atau kebijakan pembangunan yang cenderung penyeragaman aksi untuk peningkatan ekonomi sebagai pengakuan atas kesejahteraan dan sekaligus sebagai ukurannya, yang membuat kerusakan lingkungan hidup dan sosial terus meningkat. Brown dkk (1995) menyatakan bahwa sekalipun sistem pengelolaan tradisional ini cerdik, tetapi juga mempunyai kerawanannya. Apabila, masyarakat sudah berada pada tekanan-tekanan ekonomi uang, teknologi-teknologi modern, pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, maka mulai berpengaruh dalam merubah pendekatan pengelolaan tradisional mereka kerena kerapkali mengalami kegagalan dengan akibat kerusakan lingkungan hidup mereka. Pengakuan dan penghargaan pada pengetahuan lokal merupakan pilihan dalam keberlanjutan ekologi.

(Radar Banjarmasin, 17 Juni 2010: 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar