Kamis, 03 Maret 2011

100 Persen Tak Lulus UN 100 Persen Jujur


Oleh D Kemalawati


Judul itu saya pilih bukan untuk membela SMPN1 Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, sebagaimana diberitakan harian ini (Sabtu, 27/06/ 2009) lalu, bahwa dari 30 siswa SMP tersebut yang ikut UN tak ada satu peserta pun yang lulus alias 100 persen tak lulus. Sungguh saya tak berhak mengklaim bahwa pelaksanaan UN di Sekolah itu sudah benar dengan tingkat kejujurannya 100 persen. Karena secara langsung saya tak terlibat di sana.

Sebagai seorang guru yang mengajar mata pelajaran yang di UN-kan , secara tidak langsung saya mengakui kejujuran itu. Dan bila diinversikan berarti jika 100 persen lulus UN maka 100 persen tak jujur. Hal ini tentu akan mengundang polemik baru. Itu seperti iklan jeruk kok makan jeruk. Bicara kejujuran saat ini, kita memang harus hati-hati. Bisa saja kejujuran kita mengungkapkan sesuatu akan berakibat fatal seperti yang dialami seorang ibu rumah tangga, Prita Mulya Sari yang harus mendekam di penjara wanita Tangerang karena menulis surat elektronik yang isinya dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit. Tetapi, apakah kehati-hatian yang menjurus apatis itu akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, saya tidak yakin. Tapi setidaknya di negeri yang sedang melaksanakan syariat Islam ini kejujuran masih dijunjung tinggi oleh sebagian masyarakat dan masih ada yang berpihak pada orang-orang yang berusaha jujur.

Beberapa praktik kecurangan berskala besar terus-menerus dilakoni. Pelaksanaan pemilu bulan April lalu yang melibatkan hampir sebagian besar komponen masyarakat, praktik kecurangan seperti air bah tak terbendung. Intimidasi, jual beli suara yang biasa dipraktikkan oleh mereka yang tak beriman terjadi di negeri syariat Islam. Demikian juga di dunia pendidikan yang mestinya steril dari kemunafikan justru menjadi tempat generasi muda belajar kecurangan. Ya, meski kedengarannya sangat pahit, kenyataannya dunia pendidikan telah ternoda karena UN.

Mengharap standar mutu pendidikan dapat terjamin dari adanya ujian nasional hanya untuk beberapa mata pelajaran justru telah membuat kita terjerumus dalam eforia kemunafikan. Persentase-persentase kelulusan yang dibanggakan sebagai suatu keberhasilan tak ubahnya seperti permen karet. Permukaannya manis tetapi isinya tak bisa ditelan menjadi makanan. Ya, hanya setipis manisan di permen karet itulah persentase lulusan kita yang bisa diandalkan. Nilai- nilai terpampang di SKHU sangat luar biasa. Sangat memalukan bagi guru-guru yang mengajar bidang studi yang di UN-kan. Ada siswa yang sehari-hari sulit memperoleh nilai 5, di SKHU bahkan mampu memperoleh nilai di atas sembilan. Apakah soal yang diberikan guru sehari-hari lebih sukar dari soal-soal UN.

Beberapa teman guru matematika dilain kesempatan mencoba menyelesaikan soal UN tahun ini dengan waktu yang sama dengan siswa. Setelah dicek ulang mereka menemukan beberapa kesilapan dalam cara menyelesaikan soal dan walhasil beberapa jawabannya salah. Dengan demikian meski setiap tahun berkutat menyelesaikan soal-soal UN nilai guru itu tak juga sampai 10. Tetapi nilai matematika siswanya yang hanya berlatih sesaat ketika les bisa mendekati limit sempurna. luar biasa.

Dalam waktu dua jam, menjawab puluhan soal kalau tidak terlatih pasti hasilnya tidak akan memuaskan. Soal-soal formatif saja yang hanya satu pokok bahasan dan baru saja dipelajari belum tentu semua siswa mampu menjawab dengan tepat dan memperoleh hasil 10. Apalagi soal UN yang mencakup semua pokok bahasan dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Hal ini bisa dibuktikan dengan hasil try out. Soal-soal ketika try out biasanya tak jauh beda dari soal UN . Tapi hampir sebagian besar siswa calon peserta UN tak dapat menyelesaikan soal-soal try out itu dengan baik. Hingga tingkat kelulusan try out hanya berkisar 0 sampai 30 persen. Sesuatu yang luar biasa terjadi setiap Juni adalah eforia kelulusan mencapai 100 persen, eforia keberhasilan dengan nilai rata-rata 9. Jujurkah itu.

Mestinya kita sadar kenapa pihak pemerintah memutuskan nilai kelulusan misalnya 3,5 bukan langsung 6 untuk matematika pada awal pelaksanaan UN beberapa tahun lalu, mereka tentu sudah melakukan penelitian tentang rata-rata kemampuan siswa menjawab benar adalah 10 soal. Lalu dengan adanya pengalaman dan perbaikan-perbaikan di sana-sini, nilai kelulusan dinaikkan lagi. Semua dilakukan bertahap bukan untuk mengkatrol kelulusan apalagi memperoleh nilai mendekati 10 seperti yang kita temui di SKHU siswa hari ini.

Seperti pernyataan Dr. Sofyan A. Gani dalam opininya (Gembira dalam Duka Menyambut Hasil UN, Serambi Indonesia, 27 Juni 2009), saya juga tak alergi dengan UN. Apalagi tujuan UN itu jelas untuk mengukur standar pendidikan secara nasional. Karena yang kita ketahui hingga hari ini apa yang dipelajari oleh siswa di tingkat pusat sama dengan apa yang dipelajari oleh siswa yang ada ditingkat daerah bahkan jauh di pelosok di daerah terpencil. Apa yang harus diajarkan oleh guru yang ada di pusat sama juga dengan apa yang harus diajarkan oleh guru di daerah terpencil, tanpa kecuali. Semua tertuang dalam kurikulum nasional yang berlaku di seluruh negeri ini.

Yang sering kita lupa adalah kenyataan bahwa sekolah di daerah, apalagi daerah terpencil dengan sekolah di perkotaan sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi. Simak saja, kasus SMPN1 Sungai Mas yang letaknya di pedalaman, jauh dari pusat kota meulaboh. 100 persen peserta UN yang tidak lulus memang dapat disebabkan oleh banyak factor. Setidaknya, menurut kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat, Drs Adami Umar ada tiga cara yang akan ditempuhnya agar kegagalan tahun ini tidak terulang ditahun berikutnya, yaitu : dengan penempatan guru secara penuh, melakukan pengawasan yang kontinyu oleh pengawas sekolah serta penambahan sarana dan prasarana penunjang pendidikan.

Jelas, faktor kegagalan UN di SMPN1 Sungai Mas menurut kepala Dinas Pendidikan Aceh Barat adalah masalah kurangnya guru ( tidak dijelaskan apakah guru yang mengajar mata pelajaran UN juga tak ada), kurangnya pengawasan oleh pengawas sekolah, dan kurangnya sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Kurangnya guru sangat mempengaruhi aktifitas belajar mengajar. Sedangkan setiap kali terjadinya aktifitas belajar mengajar juga belum tentu satu pokok bahasan yang ditargetkan di kurikulum akan tercapai.

Apakah tanpa bimbingan guru, meskipun kurang kompeten, para siswa siap untuk menjawab soal-soal UN yang dari tahun ke tahun tetap mengacu pada pokok bahasan yang telah diajarkan selama 6 semester atau materi dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Bayangkan saja, untuk pelajaran yang berjenjang seperti Matematika, bila siswa belum paham operasi bilangan riil apapun pokok bahasan yang akan dilanjutkan pasti akan mengalami kendala. Mau mencari peluang suatu kejadian pasti tidak akan berhasil bila siswa tidak bisa mengalikan bilangan pecahan dan sebagainya. Lain lagi dengan bahasa inggris, selain ujian tiori juga ada listeningnya. Bisakah para siswa kita mendengar dengan baik tanpa latihan mendengar dialek yang membaca narasi maupun percakapan dalam bahasa inggris tanpa bimbingan guru bahasa Inggris yang kompeten. Demikian juga pelajaran bahasa Indonesia. Di daerah pedalaman tertentu bahkan berbicara bahasa Indonesia saja mereka tak pasif bagaimana lagi menjawab soal-soal UN dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Menyamaratakan soal UN antara sekolah yang ada di perkotaan yang punya fasilitas lengkap, semua kebutuhan bahan ajar terpenuhi dan yang lebih utama adalah kesadaran masyarakatnya atas kebutuhan pendidikan sudah sangat baik dengan sekolah di pedalaman tanpa guru yang selalu mendampingi siswa, tanpa bahan ajar yang memadai, kemampuan ekonomi masyarakat yang sangat memprihatinkan, sungguh suatu hal yang miris. Bagi saya, bila di sekolah itu tak ada guru yang mengajarkan mata pelajaran yang di UN-kan, tidak pernah dilatih siswanya untuk menyelesaikan soal-soal bahkan tidak pernah di try out, maka 100 persen tidak lulus adalah sebuah kejujuran yang perlu dihargai sebagai sebuah pelajaran berharga. Yang kita pertanyakan dengan kondisi yang sama, dan mungkin jauh terpencil dari Sungai Mas, apakah bisa kita percaya bila ada sekolah yang mampu meluluskan siswanya 100 persen. Demikian juga hal nya sekolah-sekolah di perkotaan yang sekarang bisa meluluskan siswanya hingga 100 persen bahkan dengan nilai-nilai yang fantastis, jujurkah mereka?

* Penulis adalah Guru Bidang Studi Matematika SMKN2, Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar