Kamis, 03 Maret 2011

Benarkah Guru Membodohi Anak Bangsa?


[ penulis: D Kemalawati | topik: Pendidikan ]

        Suatu pagi seorang anak berlari-lari kecil di pematang sawah. Di ketiaknya terkepit dua buah buku. Di saku bajunya yang kusam sepucuk pinsil yang ujungnya tak runcing menyembul keluar. Dengan terengah-engah sampailah anak itu ke sebuah tempat, di mana telah berkumpul puluhan anak sebaya dengannya dan beberapa orang dewasa.
 
      Tanpa upacara bendera atau senam pagi, anak-anak itu mulai belajar. Suasana pedesaan yang hening pecah oleh bacaan: “ini ibu Budi, ini ayah Budi” dan seperti embun membasahi kakinya saat berlarian di pematang, bacaan itu melekat di kepala anak-anak kecil yang ceria itu. 

      Dua puluh tahun kemudian, anak kecil tersebut telah menggunakan sepatu mengkilat dan mengendarai mobil mewah melaju kencang ke gedung megah di kota ini. Hari ini, dia bukan lagi anak kecil yang dulu dibimbing tangannya untuk menulis huruf ’a‘, bukan lagi anak kecil yang mati-matian membenarkan perkatan gurunya. Karena semua perkataan guru baginya adalah kepintaran. Hari ini dia mungkin meyakini keberhasilannya adalah karena kepintaran gurunya dan usahanya sendiri. 

      Tidak seorangpun bisa membantah bahwa kita semua pernah berguru. Karena dalam hidup ini ilmu itu tak datang dengan sendirinya. Allah menurunkan wahyunya kepada Rasul-rasulnya melalui Malaikat. Rasul-rasul yang berkapasitas sebagai teladan telah menjadi guru bagi umatnya. Dan guru, layak tidak layak memang harus dihargai. Tentu penghargaan itu bukan hanya dengan kata-kata, atau sebuah cendera mata, ataupun lencana. Guru harus dihargai dengan memberikan fasilitas yang sesuai dengan pekerjaannya yaitu mencerdaskan anak-anak bangsa. Tapi guru bukan malaikat yang tak pernah salah menyampaikan wahyu. Guru adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

      Suatu hasil kajian tentang guru telah membuat seorang Wakil Kepala Dinas Pendidikan NAD Drs Anas M Adam MPd berani menyimpulkan bahwa: seorang guru yang tak berkualitas, kalau diangkat pada usia 25 tahun dan pensiun pada usia 65 tahun, maka yang bersangkutan terus membodohi siswanya selama 40 tahun. “Kalau tiap tahun dia mengajar dua kelas (60 orang), maka selama hayatnya dia akan membodohkan 2.400 siswa dan Negara juga mengalami kerugian karena gaji yang dikeluarkan bukan untuk mencerdaskan anak bangsa, tetapi justru membodohkan anak bangsa”.(Serambi Indonesia, Minggu 5 Maret 2006). Ini tentu sangat menohok guru yang telah bekerja puluhan tahun lamanya dan telah ikut mencerdaskan bapak-bapak yang sedang menjadi pejabat saat ini. Mungkin diantara pejabat yang sedang `naik daun‘ sekarang pernah diajarkan oleh guru yang sebenarnya tak berkualitas dan tak layak mengajar.

       Mungkin benar 50 persen atau bahkan lebih dari itu, guru di Aceh tidak layak mengajar. Karena ini merupakan kajian yang tentu bukan dikerjakan asal-asalan oleh staf pengajar FKIP Unsyiah (kecuali bagi oknum yang membuat penelitian untuk mencairkan dana proyek). Tapi apakah dengan demikian seorang pak Anas harus menohok guru-guru layaknya beliau berasal dari lingkungan lain yang tak ada sangkut-pautnya dengan guru. Bukankah Bapak salah seorang pengambil kebijakan atas berbagai kepentingan untuk meningkatkan mutu guru. Apa yang Bapak lakukan selama memimpin dinas pendidikan, sehingga 50 persen guru tidak layak untuk mengajar dan telah membodohi setengah dari pelajar di daerah ini.

       Juga FKIP, setelah adanya hasil kajian yang mencoreng almamater itu , kebijakan apa yang telah dilakukan. Apakah pola mengajar para dosen masih mengandalkan asisten dan membiarkan mereka dengan pengalaman yang seadanya lalu dengan berbagai alasan terbang ke kelas yang jauh, menitipkan debu-debu lalu mengajaknya berkicau bersama. Ataukah hanya mengirim sekian banyak tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikannya, kemudian pulang tapi tak merobah keadaan. Apakah dengan perangkat uji yang sama mereka pernah diuji untuk membuktikan layak tidaknya mereka meluluskan calon guru?

       Sayang sekali, kesalahan hanya ditimpakan pada guru. Lalu seolah-olah guru bisa saja menerima hal ini dengan pantas. Sungguh sebenarnya ini sangat pahit diterima. Saya juga seorang guru. Mungkin saya termasuk salah satu dari yang tak layak itu. tapi benarkah saya telah membodohi murid-murid saya? Saya sangat-sangat keberatan tentang hal ini. Boleh saja salah satu materi kurang saya kuasai tapi masih banyak materi lain yang telah saya kuasai apalagi jam terbang saya sebagai guru telah sangat banyak.

       Siapakah anak yang berlari-lari kecil di pematang sawah puluhan tahun yang lalu pada pembuka tulisan ini. Sebut saja dia pak Aminullah yang kini memimpin BPD NAD. Beliau datang dari kesejukan sungai Woyla jauh di pedalaman Aceh Barat. Beliau juga hanya lulusan SMEP Meulaboh dan berani mengambil resiko merantau menuntut ilmu. Hari ini, beliau menjadi orang nomor satu di bank milik daerah ini, tentu setelah belajar dan berguru pada orang yang disebut guru. Padahal mungkin saja guru yang mengajar beliau di SD tak pernah mengenyam pendidikan guru.

      Bagaimana dengan guru-guru sekarang, yang sudah mengenyam pendidikan guru. Kenapa mereka menjadi tak layak mengajar seperti apa yang dikaji oleh kalangan FKIP. Adakah yang salah dengan sistem yang diberlakukan sehingga berbagai ketimpangan jatuh ke pundak guru. 

      Dengan berbagai dalih untuk kepentingan guru, berbagai program memang telah diupayakan dinas pendidikan. Bahkan beberapa tahun sebelum terjadinya musibah tsunami dinas pendidikan telah mengirimkan guru-gurunya ke luar negeri yang biayanya jauh lebih mahal dari pada mengontrak tenaga ahli itu untuk datang ke daerah ini dan memberikan ilmunya kepada lebih banyak guru di sini. Pernah terpikir oleh kami yang awam ini , apakah tak ada tenaga profesional di kampus Unsyiah sehingga guru-guru harus dikirim belajar ke luar negeri. Atau apakah itu merupakan hadiah bagi guru-guru yang telah lulus seleksi agar lebih bergairah dalam mengajar.

       Pengalaman guru-guru yang dikirim keluar negeri beberapa angkatan selalu sangat memprihatinkan, baik selama dalam masa pelatihan maupun setelah kembali dari pelatihan. Mungkin pak Anas ketika mengantar rombongan guru-guru ke pulau Penang bisa sekalian membawa keluarga lalu check up kesehatan di sana terus berpesiar bahkan bisa dengan leluasa berbelanja di Kamdar-kamdar besar. Tapi bagi seorang pak guru, untuk berangkat ke sana harus mencari pinjaman uang untuk belanja anak dan istri yang ditinggal di kampung. Lalu dengan uang saku yang sangat minim mereka memang pernah dibawa berjalan melihat kota Kuala Lumpur, tapi sesampai di sana mereka hanya menjadi bagian orang yang lalu lalang di trotoar tanpa mampu membeli sedikit kenang-kenangan. sebagai tanda mata bagi anak dan istri.

         Hal diatas mungkin tak penting bagi Bapak. Karena program itu sudah berjalan dan semua uang proyek sudah ditarik. Tapi kembali lagi yang korban perasaan adalah guru yang telah mendapatkan ilmu. Di samping tak ada yang dapat diterapkan di daerah mereka juga menjadi cibiran teman-temannya karena tak ada yang berobah pada proses belajar mengajar. Mereka masih mengajar secara konvensional. Mungkin Pak Anas sudah mengalihkan untuk satu guru yang pernah belajar di sana akan menjadi pion bagi berapa guru lainnya. Tapi itu tak pernah terjadi di lapangan. Istilahnya tak ada tindak lanjut.

        Lalu kalau kita hitung dari jumlah guru yang tersebar di seluruh Aceh, berapa persenkah guru yang pernah mendapat pencerahan setelah menjadi guru. Rasanya kalau untuk menyentuh kepentingan kecerdasan guru sulit sekali mendapat perhatian dari pihak Bapak di Dinas Pendidikan NAD, tapi kalau membangun fisik pastilah menjadi prioritas utama. 

       Memang, guru bukan lagi sosok yang dihormati. guru juga seperti hidup di negeri tak bertuan. Tak ada yang membela kepentingan guru. Kadangkala guru dianggap sebagai malaikat yang tak butuh kehidupan duniawi. Tidak boleh mengeluh apalagi berontak karena itu tidak sesuai dengan sikap guru. Cukuplah gaji guru seperti sekarang ini.

       Tapi kerjaannya harus lebih banyak, harus lebih berkompetensi walau tanpa fasilitas yang mendukung. Guru honor diperlakukan seperti sapi perahan, diperas susunya setiap saat tapi diberi makan 4-6 bulan sekali itupun hanya beberapa kunyahan saja. Dan itu dilakukan bukan untuk membodohi siswa tetapi justru tanpa pamrih ikut mencerdaskan bangsa. Sekarang terserah penilaian Bapak, apakah kami guru yang telah membodohi siswa dan telah merugikan negara atau bapak-bapak yang mengurus kepentingan kami yang telah membodohi kami dan menguntungkan negara.

*) Penulis adalah seorang guru Matematika pada SMKN2 di Banda Aceh
*) Dimuat di Harian Serambi Indonesia, 5 Maret 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar